Na Willa apa kabar, ya? Terakhir kita menjumpainya saat ia pindah ke Jakarta dan memulai hari-harinya di sana dengan murung. Kemudian kami mendengar ia punya adik, lalu teman-teman baru, dan dunianya jadi ramai. Tapi ini kabar yang kami dengar sepotong-sepotong saja. Setiap kali berjumpa Reda, kami bertanya kapan bisa bertemu Na Willa lagi. Ternyata, ini bukan pertanyaan kami saja. Banyak yang merongrongnya untuk mendengar bagaimana kisah Na Willa berlanjut -- dari anak kecil hingga orang dewasa, dari adiknya anak kecil hingga kakaknya orang dewasa. Ada siswa di salah satu sekolah yang menagih ke Reda dengan sedikit geregetan: “Kalau begini ceritanya, aku keburu lulus SD!” begitu katanya.   Sampai sebuah sore di bulan Februari 2021, saat kami menerima surel dari Reda berisi coretan-coretan awal bakal kisah lanjutan Na Willa – adegan ia dan sekolah barunya, hari-harinya di Jakarta, hingga orang-orang baru dalam hidupnya. Coretan-coretan awal yang membuat kami bersemangat untuk terus mengompori Reda menyelesaikan seri ketiga ini.

Teman-teman pembaca, 

Sejak dulu kami bersama Reda selalu membayangkan kisah Na Willa sebagai sebuah seri, mungkin tiga buku, mungkin empat, mungkin lima. Namun, kami juga terus bertanya dan berefleksi bagaimana seri ini akan disusun? Reda, seperti kami, berkeinginan membuat ini sebagai seri yang mengikuti bagaimana Na Willa tumbuh, bagaimana ia menuturkan perjalanan hidupnya bersama waktu yang terus berjalan. Kami tidak ingin seri ini mengungkung Na Willa dalam sebuah periode yang sama. Kami ingin melihat bagaimana ia melihat dunia di sekitarnya yang terus bergerak. Di buku pertama Na Willa mengenali bagaimana dunia anak-anak yang lugu dan polos juga beririsan dengan dunia luar yang tak selalu berwarna pelangi. Di buku kedua, Na Willa juga harus menghadapi kemurungan yang tak terhindarkan, rasa sedih karena perpisahan. Dan di buku ketiga ini, kita mengikuti bagaimana ia melihat babak-babak baru dalam dunia kanak-kanaknya, dunia dengan orang-orang baru, pertemanan baru, dan kenangan masa lalu yang perlahan mengabur. 

Seperti buku-buku sebelumnya, kami pun akan mengenang proses penerbitan buku ini sebagai sebuah perjalanan yang menggembirakan. Kami teringat pembahasan-pembahasan yang harus dilakukan melalui zoom di kala pandemi, atau rasa gembira saat akhirnya bisa membicarakannya secara langsung bersama Reda, sambil menatap layar komputer yang sama, coretan-coretan kertas yang sama – di antara meja makan yang berisi piring kotor bekas makan, dan rasa rindu yang baru dilepas. Dan seperti dulu, kami masih selalu mengagumi kecakapan Reda menyajikan dunia yang dilihat dari mata kanak-kanak Na Willa. Kami mengagumi bagaimana Reda menulis Na Willa terpapar pada ragam kompleksitas yang harus ia cerna – tentang kelas, karakter manusia yang demikian beragam, hingga tentang kenyataan bahwa dirinya bukan pusat dunia. Kami sangat berterima kasih pada Reda, untuk pertemanan yang ia berikan, juga kepercayaannya pada kami untuk bersama-sama memperkenalkan Na Willa pada pembacanya.  

Kebahagiaan menjadi lengkap saat Cecillia Hidayat tetap bersedia menggambari edisi kali ini. Kami masih selalu terharu setiap kali menerima whatsapp ilustrasi baru yang ia buat, atau tertawa geli mendapati interpretasi visualnya. Kami masih ingat senyum mengembang yang muncul saat melihat ilustrasi Cecilia tentang Na Willa yang dilihat dari sudut pandang berkunang-kunang Mak. 

Teman-teman,

Saat cetakan pertama buku ketiga ini terbit, kisah Na Willa sudah berusia sepuluh tahun (Wah! Tak terasa!). Ia sudah berjalan ke sana kemari dengan gembira. Ia diterjemahkan ke bahasa Inggris dan menyapa pembacanya di sana, ia menjadi bacaan wajib di beberapa sekolah, menjadi koleksi berbagai perpustakaan, dan disimpan dengan sayang di rak-rak buku pembacanya. Beberapa pembaca tumbuh bersamanya, membaca kisah Na Willa saat dirinya seusia Na Willa di buku pertama, dan membaca kisah ini kala ia juga duduk di kelas tiga sekolah dasar. Beberapa pembaca dewasa teringat masa kanak-kanaknya sendiri dan dengan sayang membacakannya untuk kawan-kawan kecilnya. Demikian juga untuk kami. Seperti halnya Reda, Na Willa telah menjadi sahabat yang sangat kami sayang. Ia terasa nyata, seperti kawan kecil yang duduk di ujung sofa, yang selalu ingin kami dengar ceritanya – tentang bagaimana harinya dijalani, tentang buku yang ia baca, tentang orang yang ia temui. Cerita-cerita yang membuat dunia luar –sepanas apa pun—terasa sejuk dan berwarna saat dilihat dari sudut pandangnya. 

Untuk teman-teman pembaca sekalian, tak henti kami mengucapkan terima kasih untuk sambutan hangatnya pada kisah ini, untuk ucapan-ucapan penyemangatnya, juga apresiasinya, sehingga Na Willa sanggup untuk terus berjalan dengan riang hingga sekarang. Kini teman-teman bisa turut membaca buku ketiga Na Willa, berkenalan dengan adik-adiknya, kawan-kawan barunya, juga si Dulu Kelabu. Semoga cerita-cerita ini juga mengobati rindu teman-teman, atau menjadi perkenalan pertama yang menyenangkan dengannya. 

 

Salam hangat

POST Press