Bill Hayes -- pengidap insomnia yang sedang patah hati -- datang ke New York untuk memulai lagi hidupnya. Ia menghabiskan malam berjalan sendiri, mengambil gambar, berbicara dengan orang-orang yang ia temui. Ia mendengarkan kisah-kisah mereka dan memperhatikan setiap detail yang membentuk kota itu; jari-jari pasangan yang bergandengan, yang saling menjalin seperti sedang berdoa, atau udara pagi di stasiun bus yang terasa seperti embusan sisa-sisa mimpi semalam yang belum selesai. Di sana Hayes kembali menemukan dirinya, juga cintanya. “Insomniac City” menjadi salah satu kisah paling hangat yang kami baca tahun lalu. Kisah cinta antar sesama manusia, juga kepada sebuah kota.

New York, atau Lagos, atau Jakarta, atau New Delhi, adalah megapolitan yang menyimpan cerita dari jutaan penduduknya, mereka yang bergembira, atau dirundung malang, atau kelaparan, atau mendengki, atau mendambakan maaf. Cerita Hayes yang menemukan kembali cintanya tentu satu dari banyak lapisan kisah dari kota-kota yang tak pernah tidur ini. Hutan beton tempat segala mimpi bisa diwujudkan, atau bayangan romantik kota New York dengan jembatan Brooklyn dan karya-karya seni dari seniman di Lower East Side, tentu hanya satu dari banyak lapisan kisah yang berkelindan membentuk kesemrawutan yang berirama.

Dalam “Tales of Two Cities” John Freeman menulis tentang kesenjangan yang selalu menjadi wajah New York. Saat ia menulis di apartemen nyamannya di Manhattan, saudara lelakinya menetap di penampungan orang miskin. Di Lagos, Teju Cole mendeskripsikan dengan tepat suasana ruangan yang sesak saat listrik padam di tengah malam, sementara di sudut lain seorang bayi menangis meraung-raung. Di Jakarta, Roanne van Voorst tinggal di Bantaran Kali dan mencatat dengan tekun bagaimana kelompok termiskin di kota ini menghadapi banjir dan segala kekerasan hidup. Roanne mengajak kita menengok kisah orang-orang di kampung yang oleh Tikus, kenalannya di sana, disebut “Tempat Terbaik di Dunia”.

Karakter-karakter kuat adalah pusat yang menjadikan narasi tentang kota menjadi bergema. Cerita tentang Tikus yang membangun pusat kebugaran (dengan whirlpool segala!), yang kemudian membuat kami ikut bersedih saat Bantaran Kali akhirnya lenyap. Atau cerita pertemanan George Orwell saat ia terlunta-lunta di jalanan kota Paris bersama Boris, bekas tentara yang tetap meledak-ledak walau kelaparan mendera. Suatu kali Boris berkata pada Orwell, “Kalau kau terlihat kelaparan, orang jadi kepingin menggamparmu.” Atau wajah kota London yang dibentuk oleh cerita keseharian si imigran dari Pakistan, atau penjaga istana Buckingham, atau perempuan yang suaranya kita dengar di mikrofon stasiun kereta. Buku “Londoners” menarik karena ia dituturkan langsung oleh orang-orang kebanyakan yang menghabiskan hidupnya di sana, orang-orang dari latar ekonomi dan sosial yang berbeda, yang suaranya sering tidak terwakili secara setara. Karena itu ragam narasi yang dihadirkan dalam buku ini menjadi lebih lengkap mewakili perpaduan narasi kota yang demikian beragam.  

Megapolitan juga – dengan jutaan karakter yang memenuhinya – memberikan anonimitas yang mungkin diperlukan banyak orang. Tempat setiap orang pernah berada di tempat lain, tempat orang berbicara dalam berbagai bahasa, tempat yang bisa menyediakan ruang bagi mereka yang tak ingin tampil mencolok. Chibundu Onuzo menulis kisah lima pelarian yang menikmati anonimitas di Lagos yang kacau balau. Kelompok ini membentuk ikatan yang tak disangka-sangka dengan satu sama lain, juga dengan kotanya. Namun, seperti Freeman yang menyebut kota selalu punya dua sisi yang sama kuatnya, begitu pula soal anonimitas ini. Cerita Sayaka Murata, “Convenience Store Woman” justru menonjolkan bagaimana norma dan ekspektasi masyarakat akan perempuan di pertengahan tiga puluhan menjadi bagian tak terpisahkan dari narasinya tentang Tokyo.

Proses kurasi buku-buku ini membawa kami melihat lebih dekat hubungan-hubungan personal yang terbentuk antara penulis, juga tokohnya, dengan kota tempatnya berada. Ketika kota tak sekadar latar sebuah cerita, tapi menjadi kesatuan utuh dengan bangunan narasinya. Hubungan yang tercipta dari mereka yang pulang, misalnya. Bagaimana Teju Cole mengalami kembali Lagos yang telah lama ditinggalkannya. Atau puisi-puisi Mikael Johani yang melihat dari dekat Jakarta dalam pertanyaan konstannya tentang akar.

Ia juga membawa keterhubungan-keterhubungan. Mochtar Lubis menulis “Senja Di Jakarta”, karya klasik Jakarta tahun 1950-an, ketika negeri yang baru merdeka ini masih tertatih seperti bayi yang baru belajar berjalan. Ia menyajikan gambar-gambar yang masih sama dengan Jakarta kita sekarang, saat si bayi sudah mulai renta. Atau “The  Noodle Maker” karya Ma Jian yang berkisah tentang masa di sekitar tragedi Tiananmen, mengingatkan kami akan bagaimana sebuah generasi memandang tragedi-tragedi kemanusiaan masa lalu di Indonesia.

Keterhubungan-keterhubungan personal juga tentu tercipta. Saat kita membaca kisah Bill Hayes, dan merenungi Jakarta kita, tentu kita akan mengingat di kota ini pula kita pernah jatuh cinta, menemukan pertemanan, patah hati, jatuh cinta lagi. Betapa kita, juga orang-orang di sekitar kita, seperti halnya berbagai tokoh dalam buku-buku ini, adalah wajah-wajah, dan kisah-kisah, yang membentuk narasi kota ini. Kota yang kita kutuki, sekaligus tak henti kita cintai ini.

Salam hangat,

POST Bookshop

Megacities